Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 25 Januari 2013

Mahalnya Demokrasi

Komisi Pemilihan Umum meminta anggaran Rp 7,4 triliun untuk penyelenggaraan Pemilu 2014. Anggaran itu barulah anggaran penyelenggaraan.

Biaya pemilu lebih besar dibandingkan anggaran penyelenggaraan yang diminta Komisi Pemilihan Umum (KPU). Data yang diolah Litbang Kompas menunjukkan, anggaran Pemilu 2004 sebesar Rp 55,909 triliun, sementara anggaran Pemilu 2009 sebesar Rp 47,941 triliun. Anggaran itu menjadi beban APBN dan APBD dengan proporsi berbeda-beda.

Pengertian biaya pemilu adalah biaya penyelenggaraan yang menjadi tanggung jawab KPU. Biaya itu pasti jauh lebih besar jika ditambah dengan biaya persiapan untuk menjadi calon anggota legislatif, biaya kampanye, dan biaya saksi yang harus dipersiapkan caleg. Biaya itu belum termasuk biaya pemilihan kepala daerah.

Penelitian Pramono Anung Wibowo saat memperoleh gelar doktor menunjukkan, caleg harus mempersiapkan dana antara Rp 600 juta dan Rp 6 miliar untuk bisa menjadi anggota DPR. Penelitian Pramono itu menunjukkan, motivasi menjadi anggota DPR bukanlah semata-mata ingin menjadi politisi yang memperjuangkan aspirasi rakyat atau karena perjuangan ideologi, melainkan lebih bermotifkan ekonomi!

Biaya demokrasi kian mahal seiring dengan diterapkannya sistem pemilu di mana keterpilihan caleg ditentukan oleh perolehan suara mereka di daerah pemilihan. Sistem pemilu yang berbasiskan demokrasi itu kian memperketat persaingan internal di dalam partai dan persaingan antarpartai.

Konsekuensinya, biaya yang harus dipersiapkan caleg untuk memenangi pertarungan kian besar. Fenomena pasar politik inilah yang membuat ideologi partai "tunduk" pada kekuatan uang. Caleg dengan ideologi partai yang jelas bisa kalah bersaing dengan caleg yang bermodalkan uang besar.

Mahalnya demokrasi dan motif ekonomi caleg bisa menjadikan politik parlemen serba transaksional. Tujuan politik menjadi hanya sekadar siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Memang belum ada penelitian akademis soal adanya korelasi antara biaya politik yang mahal dan banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, dari 863 pilkada langsung sejak tahun 2005, sebanyak 280 orang terjerat kasus hukum.

Ide penyederhanaan pemilu perlu terus dikembangkan, termasuk gagasan pemilu serentak. Pada tahun 2013 dilangsungkan 152 pilkada di 15 provinsi, 104 kabupaten, dan 33 kota. Gagasan KPU untuk melaksanakan pilkada serentak pada level provinsi menjadi gagasan yang layak dipertimbangkan. Meski demikian, demokrasi haruslah tetap menjadi roh dalam pemikiran untuk menata ulang sistem pemilu dan pemilihan kepala daerah agar hasil demokrasi prosedural itu lebih nyata dan segera bisa dirasakan masyarakat, bukan elite politik itu sendiri dengan cara korupsi. 
(Tajuk Rencana, Kompas cetak, 25 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger