Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 10 Januari 2013

Manajemen "Blusukan"

Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Blusukan" adalah kinerja yang fokus di lapangan dengan dukungan administrasi yang baik. Naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk riol, menyapa rakyat yang terpinggirkan, malah melantik wali kota di tengah gubuk kumuh.
Jokowi dianggap tebar pesona seperti SBY. Ketika ingin tahu ke- kuatan rakyat, saya juga blusukan puluhan tahun di lokasi transmi- grasi dan permukiman kumuh. Tuhan ada di situ, kata Bung Kar- no.
Kinerja blusukan juga dilakukan oleh banyak kepala daerah. Wali kota Surabaya, misalnya. Kinerja demikian terasa aneh bagi orang Jakarta/nasional yang suka melihat pejabat arogan, main panggil, perintah, marah. Bentuk kepemimpinan versi Jawa: nimbali, dawuhi, dukani. Lantas, layakkah gaya kepemimpinan 100 hari Jokowi ini diteruskan?
Kebutuhan rakyat
Untuk memelihara binatang dan tanaman, literatur mengajarkan bahwa makhluk itu suka diajak bicara bersahabat. Mereka tak hanya membutuhkan makanan, air, dan pupuk, tetapi juga butuh belaian kasih si pemeliha- ra. Semakin disayang, tanam-tanaman akan lebih subur dan sehat daripada cuma disiram atau dipupuk sehebat apa pun.
Apalagi manusia! Kasih sayang dan dimanusiakan [bagi masyarakat terjajah] merupakan kebutuhan primer sebelum masuk wilayah human needs Maslow. Itulah makna blusukan, memanusiakan manusia sambil sesekali bersikap tegas terhadap pihak yang memarjinalkan manusia, yang tak lain tak bukan birokrat yang sok kuasa, pengusaha yang sok kaya, dan geng-geng yang sok kuat.
Dengan blusukan ke lapangan ataupun dunia maya, Jokowi dan Basuki yang non-Jakarta sangat cepat menguasai permasalahan DKI dan menemukan hakikat masalahnya. Dari hakikat itu, mereka berani bikin keputusan yang paling dramatis sekalipun. Ke dalam: penetapan UMR misalnya. Ke samping: tanggap mendatangi gubernur Jawa Barat dan Banten, wali kota ataupun bupati daerah sekitar DKI. Ke atas: ditawarnya keputusan pusat. Enam tol dalam kota ditolak, negosiasi bersama-sama menanggung MRT, semuanya dengan logika, bukan kekuasaan.
Ke birokrat, iklim pemecatan amat terasa. Semua untuk menggerakkan partisipasi masyarakat secara berkesinambungan supaya mereka menjadi bagian dari solusi apa pun: banjir, kemacetan, dan sebagainya.
Rakyat suka menerimanya. Pendekatan itu menunjukkan hasil meski ada pihak-pihak yang dirugikan. Birokrat sulit korupsi, pengusaha tersudutkan oleh besaran upah minimum regional, kelompok penekan mau tak mau tenang. Car free night, malam bebas kendaraan, yang meriah dan tertib merupakan wujud pesta bertahunbaruan yang sesungguhnya bagi masyarakat.
Sebenarnya banyak cerita rakyat tentang blusukan. Anak raja diharuskan blusukan sebelum menjadi pemimpin, misalnya dalam "Cinde Laras". Anak raja itu menempuh kehidupan menjadi "budak" dalam masyarakat. Ketika ada sayembara di alun-alun, dia muncul dan jadi pemenang. Kemudian diketahui bahwa dia anak raja itu sendiri.
Para pendiri negara RI pun memosisikan dirinya seperti Cinde Laras. Tak mau hidup mewah jadi pegawai Pemerintah Belanda. Mereka justru blusukan ke desa-desa: mendidik. Hasilnya adalah spontanitas rakyat untuk sadar merebut kedaulatan.
Bergolak tanpa perintah di Surabaya, Ambarawa, Bojong Kokosan, mereka menghentikan invasi Sekutu. Jenderal Sudirman pun melanjutkannya. Klimaksnya "merdeka atau mati" di seluruh pelosok negeri. Jadi, berkat partisipasi rakyat, kita merdeka. Kini apalah artinya banjir dan kemacetan dibandingkan dengan merebut kedaulatan negara.
Ada enam prasyarat blusukan. Pertama, cinta kepada rakyat banyak yang kumuh dan siap melayaninya dengan konsisten. Kedua, peduli pada tata ruang dan punya konsep solusi. Ketiga, tak dikendalikan uang, justru mampu mengendalikannya. Keempat, tahu kekuatan masyarakat dan lingkungan serta mampu menggerakkannya: intervensi sosial. Kelima, menguasai pendekatan komprehensif: interkorelasi, interdependensi, interdisiplin. Keenam, disiplin pada tujuan dalam UU ataupun UUD.
Begitulah kata pengalaman. Semoga pejabat DKI memenuhinya agar warga DKI secepatnya bisa berpartisipasi dalam segala solusi.
Blusukan, kosakata baru ini, semoga menjadi kunci perubahan yang harus dilakukan semua pejabat di negeri bekas jajahan ini. Hai, para calon presiden, cintailah rakyatmu, ajaklah mereka bicara santai. Namun, untuk itu, Anda harus pula memahami manajemen dan persyaratannya agar tidak diolok-olok sekadar menjadi tebar pesona.
Roch Basoeki Mangoenpoerojo Purnawirawan TNI, Anggota Presidium Barisan Nasional
(Kompas cetak, 10 Jan 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®














Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger